Big Polluters To Reap Benefit of Climate Deal

Big Polluters To Reap Benefit Of Climate Deal
29-Oct-2009 07:20
Date: 29-Oct-09
Country: UK
Author: Gerard Wynn - Analysis
LONDON - Big energy and engineering companies will reap most profit from a climate deal due in December, as they use their financial and intellectual clout to grab low carbon subsidies.
Utilities and oil companies, among the biggest polluters, are using their market awareness to stay ahead of a climate race, maneuvering to own the most viable low-carbon technologies.
In addition, they are a natural magnet for government incentives as big emitters which have to drive cuts.
"They are sufficiently commercially and technically mature and their concentration makes action possible," said Chris Mottershead, head of research and innovation at King's College London and former climate change adviser to oil firm BP.
"There's an obvious conclusion: the big utilities, the international companies are the ones that are going to benefit in the first phase," said Copenhagen Climate Council director Per Meilstrup. "And that's quite a problem as I see it."
The council works with scientists and sympathetic industry to develop a green business voice and says governments must penalize carbon emissions more, to drive more investment in cash-starved, clean energy entrepreneurs.
The world is meant to agree a global climate deal at a U.N.-led December 7-18 meeting in Copenhagen. Negotiators may miss that deadline, say analysts who expect an agreement in 2010 which governments will craft into national policies to drive carbon cuts.
Big business is competing in a technology race by snapping up or partnering with smaller companies as these develop products, said Mark Kenber, policy analyst at The Climate Group.
That has been seen in wind power and in a technology to bury carbon emissions from coal plants -- called carbon capture and storage (CCS). In biofuels U.S. oil giant Exxon Mobil Corp announced in July $600 million plans to develop clean fuels from algae.
The dominance of high-carbon companies in cleantech is underscored by patent ownership. Exxon is the world's top holder of CCS patents, research by the UK thinktank Chatham House showed last month.
UNFAIR
CCS is receiving billions of dollars but may take a decade to develop. It is popular with big corporates as a bolt-on to coal plants which may use depleted oil wells to store carbon dioxide. The European Union's executive Commission two weeks ago awarded 1 billion euros to 6 CCS projects.
Analysts at the investment bank Citigroup have identified a "watch list" of 181 publicly traded companies which could benefit in the long-term from strong targets to cut carbon.
Benefiting sectors included utilities and engineering companies in nuclear, hydro and wind power, and the natural gas industry following new reserve finds and favorable economics for the low-carbon fossil fuel.
Likely winners were mostly large and well established -- such as electronics firm Philips, engineering company Alstom, oil and gas company Gazprom and waste firm Suez Environment.
Not everyone is happy that oil firms, utilities and big engineering companies may hold the keys to a low-carbon future, and there is a worry that insufficient public funds are reaching start-up companies and entrepreneurs.
"If you are not in a lab in a big international company that can afford to develop ideas, demonstrate projects and market mature products, then it's really hard," said Meilstrup.
He added that "amazing" technologies were being missed -- for example to generate cheap household energy from waste in developing countries.
High-carbon utilities may also have an unfair headstart after winning windfall profits under Europe's emissions trading scheme, meant to penalize polluters. And oil companies continue to get subsidies, such as U.S. oil exploration tax breaks.
U.S. venture capital investors in cleantech start-ups needed the same tax breaks, argued Mungo Park, chairman of Innovator Capital, a specialist investment bank.
But a booming wind industry is proof that a low-carbon revolution will likely create new winners outside traditional sectors -- perhaps battery makers, expected to roll out mass production units in pure electric cars from next year.
(Editing by William Hardy)
© Thomson Reuters 2009 All rights reserved
Source:Planetark

Sulit Capai Kesepakatan Iklim

30-Oct-2009 07:31
By Republika Newsroom
Jumat, 30 Oktober 2009 pukul 04:42:00
COPENHAGEN--Perdana Menteri Denmark, berpendapat kesepakatan yang mengikat secara hukum tidak akan dicapai dalam pertemuan puncak Kopenhagen, Desember 2009.Laks Loekke Rasmussen mengungkapkan pendapatnya menjelang KTT Uni Eropa yang akan menempatkan perubahan iklim sebagai salah satu topik pembahasan.
Adapun topik utama berupa ratifikasi Republik Ceko atas Traktat Lisbon, yang akan menetapkan jabatan penuh Presiden Eni Eropa.
Pendapat Laks Loekke Rasmusen itu menjadi semacam peringatan mengingat Konperensi Puncak Kopenhagen akan mengupayakan traktat baru untuk menggantikan Protokol Kyoto.
"Kami berpendapat tidak mungkin memutuskan semua rincian dengan baik untuk sebuah kesepakatan yang mengikat," tuturnya.
Sebelumnya Sekjen PBB, Ban Ki-moon, mengatakan jika tidak ada traktat yang ditandatangani di Kopenhagen, dia yakin sebuah kesepakatan politik bisa dicapai.
"Kita tidak menurunkan harapan. Jika kita bisa mencapai kesepakatan dalam 4 elemen politis, itu bisa menjadi pertanda keberhasilan dalam perubahan iklim," katanya.
Dana bantuan EU

Dalam KTT Uni Eropa di Brussel, para pemimpin berupaya mengatasi perbedaan tentang bagaimana caranya anggota Uni Eropa memberi kontribusi keuangan untuk membantu negara berkembang dalam memerangi pemanasan global.
Komisi Eropa menyarankan agar negara anggota EU membayar 15 milyar Ero setahun mulai 2012 kepada negara-negara berkembang. Namun kelompok pegiat lingkungan mengatakan Eropa mestinya membayar sampai dua kali lebih banyak.
Perundingan pekan lalu antara para menteri keuangan EU mengenai pendanaan bantuan itu, tidak mencapai kesepakatan.
Uni Eropa punya komitmen untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 20% pada 2020 dan meningkatkan ke tingkat 30% jika negara-negara lain dunia ikut serta dalam upaya pengurangan emisi global.
Namun negara-negara berkembang berpendapat negara maju harus diberi sasaran lebih tinggi karena merekalah yang bertanggungjawab atas mayoritas emisi CO2. bbc/ahi
Source:Republika

RI-Inggris Beersinergi

RI-Inggris Bersinergi : Target Pengurangan Emisi Indonesia Bisa Menjadi 41 Persen
30-Oct-2009 07:47
Jumat, 30 Oktober 2009 03:33 WIB
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown membahas persiapan kedua negara menjelang Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Desember mendatang, dalam pembicaraan melalui telepon, Rabu malam.
Kedua pemimpin sepakat mengoordinasikan langkah mencegah kebuntuan di Kopenhagen. Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal menyampaikan itu di Kantor Presiden, Kamis (29/10).
”Kedua pemimpin tadi malam sepakat, menjelang konferensi di Kopenhagen enam minggu lagi akan ada koordinasi erat antara Indonesia dan Inggris dari segi pertukaran informasi dan posisi,” ujar Dino.
Dalam pembicaraan dengan Presiden Yudhoyono, PM Brown juga kembali menegaskan komitmen lebih memerhatikan aspek pembiayaan bagi pemeliharaan hutan di negara berkembang.
Upaya menambah daya serap hutan menjadi salah satu poin penting menghadapi perubahan iklim, selain penurunan emisi industri. ”Hutan Indonesia mempunyai posisi sangat strategis dalam perubahan iklim. Kita akan lihat bagaimana kelanjutannya, tetapi Inggris memang menyatakan komitmen yang kuat terhadap hal ini,” ujar Dino.
PM Brown juga menyampaikan apresiasi atas kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada tahun 2020.
”Ini suatu hal yang banyak disorot orang karena, menurut PM Gordon sendiri, merupakan target yang berani. Sementara negara-negara lain masih berwacana dan menjaga jarak, Indonesia sudah berani menetapkan target,” ujarnya.
Target yang tergolong ambisius itu sesuai pesan Presiden Yudhoyono agar negara maju mengambil posisi memimpin dalam upaya penurunan emisi industri.
”Seperti diketahui, target upper-ceiling (batas atas) adalah 41 persen, tetapi ini masih tergantung dari komitmen global. Presiden menyatakan, target Indonesia bisa naik menjadi 41 persen apabila negara lain juga menyambut gayung,” ujar Dino.
Laporan disepakati
Pada penutupan Sidang IPCC Ke-31 di Nusa Dua, Bali, disepakati kerangka penulisan Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) Kelima (IPCC Assesment Report 5/AR 5). Laporan tersebut berisi kajian ilmiah tentang prediksi, dampak, adaptasi, kerentanan, serta mitigasi perubahan iklim. Laporan itu akan diterbitkan pada tahun 2013 dan 2014. Kajian serupa yang terbit 2007 mengantarkan IPCC menerima penghargaan Nobel Perdamaian atas nama Rajendra Pachauri, Ketua IPCC.
”Saya pribadi akan terus berbicara dalam berbagai forum atau pertemuan pribadi dengan para pemimpin dunia tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam persoalan perubahan iklim. Setiap temuan tentang dampak, adaptasi, ataupun mitigasi harus segera mendapat tanggapan dan aksi nyata dari mereka,” kata Pachauri. (DAY/BEN)
Source: Kompas

Butuh Langkah Adaptasi, bukan Mitigasi

30-Oct-2009 07:45

Jumat, 30 Oktober 2009 03:44 WIB
Gianyar, Kompas - Strategi penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap pertanian harus fokus pada langkah-langkah adaptasi dibanding mitigasi. Hal ini karena pertanian menjadi korban dari perubahan iklim dan bukan sumber masalah.Pakar iklim yang juga Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian Irsal Las, Kamis (29/10) di Jakarta, menyatakan, kontribusi pertanian pada perubahan iklim global relatif kecil.Pertanian, kata Irsal, adalah korban dari perubahan iklim dunia. Akibat dari perubahan iklim global adalah petani kesulitan menentukan waktu tanam karena iklim menjadi tidak pasti. Kemarau berlangsung lebih lama dan curah hujan lebih tinggi.
Oleh karena itu, Irsal berpendapat, Pemerintah Indonesia harus lebih mengedepankan adaptasi terhadap perubahan iklim global daripada menghabiskan energi untuk melakukan mitigasi. ”Ini bukan berarti mitigasi tidak penting, tetapi adaptasi jauh lebih penting,” ujarnya.
Pemanfaatan teknologi pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim harus menjadi prioritas. Pemulia tanaman ditantang untuk menghasilkan varietas tanaman yang berumur pendek, lebih tahan salinitas, hemat air, tahan dalam kondisi kering maupun terendam, tanpa mengurangi produktivitas.
Banyak lembaga pemerintah yang menangani isu perubahan iklim. Namun, menurut Irsal, koordinasi di antara lembaga-lembaga itu masih lemah.
Program 100 hari
Terkait program jangka pendek atau program 100 hari kerja Kabinet Indonesia Bersatu II, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Gatot Irianto mengungkapkan, Balitbang Pertanian akan membagi-bagikan benih padi unggul bermutu dengan umur sangat pendek.
Langkah ini, kata Gatot, sebagai salah satu cara agar petani mau mengadopsi benih padi varietas baru yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Gatot mengakui, memasuki musim tanam rendeng di tengah isu fenomena iklim El Nino, banyak petani yang bingung menentukan waktu tanam. Mereka khawatir terkecoh turunnya hujan yang akhir-akhir ini terjadi.
”Kebingungan itu bisa ditekan bila petani memanfaatkan varietas-varietas padi yang adaptif,” kata Gatot.
Varietas padi spesifik lokasi yang akan dibagikan oleh pemerintah berumur tanam pendek, lebih tahan salinitas, kekeringan, ataupun rendaman.
Sementara itu, pakar tanah Balai Penelitian Tanah Balitbang Pertanian Abdurachman Adi melihat, usaha budidaya pertanian semakin banyak dilakukan di lahan yang tidak sesuai untuk pertanian.
Hal itu, kata Abdurachman, antara lain, menanam di lahan-lahan pegunungan dengan tingkat kemiringan yang tinggi tanpa memerhatikan teknik pemanfaatan lahan yang tepat. ”Dan, tidak diikuti dengan strategi konservasi yang baik. Akibatnya, penyerapan air berkurang dan erosi terus terjadi,” ujarnya.
Abdurachman mengingatkan, budidaya di lahan yang tidak tepat akan menimbulkan masalah baru lingkungan. (MAS)
Source:Kompas Kompas.

JK Bangun PLTMH di Bonehau

By Republika Newsroom
Senin, 19 Oktober 2009 pukul 06:50:00
MAMUJU--Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) berjanji akan membangun sebuah pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di Kecamatan Bonehau yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Mamuju Ibukota Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Hal itu diungkapkan Gubernur Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), Anwar Adnan Saleh di Mamuju, Minggu, menanggapi upaya mengatasi krisis listrik yang saat ini melanda wilayah Provinsi Sulbar."Ini merupakan janji JK setelah nanti tidak lagi menjabat sebagai Wapres, untuk memperjuangkan pembangunan di kawasan Indonesia timur khususnya di provinsi ini," ujarnya.
Gubernur mengatakan, JK telah meninjau lokasi yang akan menjadi tempat pembangunan PLTMH di Bonehau dan telah menyaksikan sendiri lokasi tersebut pada saat berkunjung ke Sulbar."JK telah melihat sendiri kondisi lokasi yang akan menjadi tempat pembangunan PLTMH di Bonehau dan menilai debit sungai Bonehau yang akan menjadi sumber energin PLTMH yang akan dibangun tersebut telah layak menjadi sumber energi,"katanya.
Menurut dia, ketika JK tidak lagi menjabat sebagai Wapres dan kembali ke habitatnya sebagai pengusaha, ia akan mengelola sendiri pembangkit listrik yang direncanakan akan berkekuatan sekitar 2x75 megawatt melalui perusahaannya. Ia mengatakan JK juga telah menemui sejumlah investor yang akan bekerja sama dalam membangun PLTMH tersebut.
Menurut dia, hadirnya PLTMH yang direncanakan pembangunannnya dimulai tahun 2010, akan mampu mengatasi krisis yang dialami daerah ini.ant/kpo
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/83262/Gubernur_Sulbar_JK_Bangun_PLTMH_di_Bonehau

PLTMH Bakal Pasok Arus Atasi Krisis Listrik

Rabu, 7 Oktober 2009 10:45

________________________________________
REDELONG –Untuk mengatasi krisis listrik yang terjadi di wilayah Aceh terutama di Bener Meriah, PT.Ilthabi Energia akhirnya melakukan survey lokasi selama seminggu.

Bantuan arus listrik yang dilaksanakan PT Ilthabi Energia menggunakan tenaga Listrik Tenaga Mikrihi(PLTMH) di Kabupaten Bener Meriah. Hal itu dilakukan menindaklanjuti realisasi awal setelah penandatangan MoU antara Pemkab Bener Meriah dengan PT.Ilthabi Energia sejak tanggal 27 Juli 2009 lalu.

Tujuan melakukan survey tersebut melihat lokasi sumber-sumber pontensi air dan panas bumi yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik. Dengan dibangunnya PLTMH di daerah itu, diharapkan dapat mengatasi krisis aliran listrik yang dirasakan oleh masyarakat setempat selama ini.

Bupati Bener Meriah diwakili Drs.Khairul Asmara Asisten Ekonomi dan Pembangunan menyambut baik dengan kedatangan tim survey dari PT.Ilthabi Energian. Dikatakan, karena selama ini dari tujuh kecamatan yang ada di Bener Meriah terutama Syiah Utama masih digolongkan sebagai daerah marginal yang belum mendapatkan pelayanan listrik dari Perusahan listrik Negara (PLN).

”Daerah tersebut hingga kini belum bisa menikmati aliran listrik dari PT.PLN,"ungkapnya.
Menurutnya, dengan adanya PLTMH di daerah itu selain dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat juga dapat disuplay ke daerah lain untuk mendatangkan Pendapatan Asli daerah (PAD).

”Maka pihak pemerintah daerah sangat mendukung dengan program tersebut, apalagi ini kepentingan masyarakat banyak," tukas Khairul.

Dia menjelaskan, wilayah Kabupaten Bener Meriah yang berada pada ketinggian 100- 2.500 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan 1000 – 2.500 mm/ tahun dan hari hujan 143 – 178/ hari/tahun.

Kondisi tersebut sangat mendukung sebuah pembangkit tenaga listrik yang menggunakan tenaga air.
Selain itu, lanjutnya, secara geografis Kabupaten Bener Meriah juga terletak di tengah-tengah Provinsi Aceh Darussalam dengan batas-batas sebagai berikut, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara.

Karena itu, keberadaan energi pembangkit listrik di wilayah Kabupaten Bener Meriah sangat mendukung dari dari segi PAD-nya.

”Bila keberadaan listrik di Bener Meriah ini nantinya mampu disuplay ke kabupaten lain, maka hal itu sangat mendukung dari segi PADnya,”terang Khairul.

Sementara itu Ketua Tim Survey, Hari Suwandi menyatakan, setelah MoU antara kedua pihak, sebenarnya pihaknya telah terlebih dulu melakukan survey ke lokasi Bener Meriah. Namun ada sedikit kendalan, sehingga baru kali ini melakukan hal tersebut.

Dikatakan Hari, pada intinya wilayah Kabupaten Bener Meriah sangat cukup potensinya makanya perusahan PT.Ilthabi Energia yang bergerak di bidang energy panas bumi memilih wilayah ini untuk membangunan pembangkit listrik tersebut.

Dia mencontohkan, salah satu sungai bidin hampir 10 W total, hal itu sudah sangat cocok.

”Makanya hari ini kami melakukan survey ulang di sungai bidin. Selain itu, misi kami adalah juga akan menjadi Kabupaten Bener Meriah hijau, itu menjadi harapan kami dalam jangka pendek. Untuk membangun itu, bukan hal mudah membalik telapak tangan, tetapi memerlukan jangka panjang sekitar 5-6 tahun kedepan,"sahut Hari.

Hari menuturkan, intinya untuk mengembangkan potensi yang ada di Gayo ini terutama Bener Meriah. Mengapa, karena daerah Bener Meriah ini setelah dipelajari tidak akan habis sumber yang dimilikinya.

”Makanya perusahan kami memilih wilayah ini sebagai pembangunan PLTMH dan PLTP," imbuhnya.
Di tempat terpisah, Ketua DPRK Nasir AK mengatakan, selama ini banyak perusahan yang melakukan kesepakatan dengan pemerintah Bener Meriah.

Tapi belum ada terwujud secara sempurna. "Mudah-mudah dengan kerja sama melalui Perusahan PT.Ilthabi Energia ini bisa terwujud yang kita harapkan. Kami sebagai wakil rakyat mendukung dengan program PLTMH dan PLTP di Bener Meriah ini," pungkasnya. (ron)
Sumber: http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=13516&tit=NANGGROE%20-%20PLTMH%20Bakal%20Pasok%20Arus

Pemerintah Serius Bangun Jembatan Selat Sunda

Kamis, 29 Oktober 2009 13:49 WIB Ekonomi & Bisnis Makro

Jakarta (ANTARA News) - Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan Indonesia akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam negeri, salah satunya dengan menyelesaikan Jembatan Selat Sunda.

"Kita akan mengembangkan potensi dalam negeri contohnya melalui strategi menyambungkan antara Jawa dan Sumatera. Kita akan mempertimbangkan serius pembangunan Jembatan Selat Sunda," ujarnya usai pembukaan "National Summit" di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis.

Hatta menambahkan, ini adalah strategi agar komoditi Indonesia di Sumatera tidak lari ke Malaysia dan untuk menciptakan konektivitas yang baik satu kawasan Jawa-Sumatera.

Proses perbaikan dan pembangunan investasi juga dapat dipakai sebagai modal untuk koneksi Asia pada 2015 nanti, namun untuk saat ini lebih diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur dalam negeri.

"Bapak Presiden mengatakan ada usul dari Malaysia, untuk menghubungkan Sumatera dan Malaka melalui Gubernur Riau, namun kita lebih memprioritaskan jembatan Selat Sunda," ujarnya.

Selain perbaikan dan pemenuhan kebutuhan sarana infrastruktur, untuk menumbuhkan sektor investasi, Hatta menambahkan, akan memaksimalkan sektor perbankan, pasar modal dan pembiayaan negara termasuk invetasi langsung luar negeri (FDI) untuk target rata-rata 25 persen dari GDP dan mendorong target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada 2010.

"FDI kita dorong semaksimal mungkin untuk menerobos hambatan-hambatan dalam bottleneck agar kemitraan FDI tetap berjalan," ujarnya.

Pemerintah berharap target FDI 30 persen dari GDP tahun 2014 dapat tercapai dibandingkan sekarang sekitar 20 persen dari GDP, yang dapat meningkat 25 hingga 27 persen dari GDP.

"Kita perlukan minimum bergerak sampai 30 persen pada 2014 caranya dengan membuka sumbatan-sumbatan tadi," ujarnya.

Hatta mengatakan untuk memastikan bahwa yang dikerjakan dalam mengatasi hambatan serta sumbatan dalam investasi akan berjalan, akan dibentuk unit kerja presdien yang berfungsi sebagai pengawasan dan pengendalian.

"Unit ini nantinya akan bekerja 24 jam menjadi mata dan telinga presiden untuk memastikan yang kita kerjakan berjalan,"ujarnya. (*)
COPYRIGHT © 2009
Sumber: http://www.antaranews.com/berita/1256798947/pemerintah-serius-bangun-jembatan-selat-sunda

Sticker lulus uji emisi

Emisi Metro Mini Paling Beracun

Kamis, 29/10/2009 14:21 WIB

Jakarta - Metro Mini sebagai angkutan umum yang biasa lalu lalang di ibukota Jakarta, memiliki racun emisi gas buang yang besar. Tingkat kepekatan asap angkutan khas yang berwarna merah-oranye ini mencapai 99,7 persen.

Hal tersebut diketahui dari pantauan detikOto dalam gelaran operasi simpatik emisi kendaraan, yang digelar di Central Park, Jalan S. Parman, Jakarta Barat, Kamis (29/10/2009)

Ketika Metro Mini 91 tersebut hendak diperiksa, petugas uji emisi sempat kebingungan karena tidak menemui knalpot pada Metro Mini tersebut, tempat sensor alat pengujian emisi nantinya diletakkan.

"Gimana mau diuji ini, knalpotnya saja enggak ada," ujar salah satu petugas.

Tapi setelah diberitahu sang sopir, ternyata knalpot tersebut tertanam jauh di kolong bus karena patah dan dibiarkan saja.

Setelah diperiksa dengan alat sensor, diketahui bahwa kepekatan asap dari Metro Mini tersebut mencapai 99,7 persen. Sementara ambang batas yang ditetapkan hanya berada pada angka 50 persen saja.

Racun emisi yang sangat tinggi tersebut biasanya disebabkan ulah dari para sopir yang dengan sengaja mengganti jarum spuyer pada karburatornya dengan yang lebih besar, agar akselerasi Metro Mini menjadi lebih ringan.

"Tapi kan efeknya bensin jadi terlalu kaya, sehingga gas buangnya kotor," ujar salah satu petugas.

Pada saat melakukan pengujian berkala, memang rata-rata Metro Mini tersebut
lulus uji emisi, karena telah menggunakan spuyer standar.

"Tapi sehabis pengujian, begitu balik ke poolnya, spuyer diganti lagi. Awas ya, jangan gitu lagi," ujar salah seorang petugas memperingatkan sang sopir. Kapok gak ya?
( bgj / ddn )
Sumber: http://oto.detik.com/read/2009/10/29/151518/1231134/648/ini-dia-stiker-lulus-uji-emisi